Laman

Minggu, 27 Juni 2010

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi
Oleh: A. Fatih Syuhud

Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain). Fenomena modern yang terjadi di awal milenium ketiga ini popular dengan sebutan globalisasi.

Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang artifisial.Di sisi lain era kontemporer identik dengan era sains dan teknologi, yang pengembangannya tidak terlepas dari studi kritis dan riset yang tidak kenal henti. Dengan semangat yang tak pernah padam ini para saintis telah memberikan kontribusi yang besar kepada keseejahteraan umat manusia di samping kepada sains itu sendiri. Hal ini sesuai dengan identifikasi para saintis sebagai pecinta kebenaran dan pencarian untuk kebaikan seluruh umat manusia. Akan tetapi, sekali lagi, dengan perbedaan perspektif terhadap nilai-nilai etika dan moralitas agama, jargon saintis sebagai pencari kebenaran tampaknya perlu dipertanyakan. Apalagi bila dilihat data-data beriktu:
Di pusat riset Porton Down di Inggris para saintis memakai binatang-binatang yang masih hidup untuk menguji coba baju anti peluru. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam troli yang kemudian diledakkan. Pada awalnya, monyet yang dipakai dalam berbagai eksperimen tetapi para saintis kemudian menggantinya dengan babi. Binatang-binatang tersebut ditembak persis di atas mata untuk meneliti efek daripada misil berkecepatan tinggi pada jaringan otak.

Di Amerika Serikat, di akhir tahun 40-an, anak-anak remaja diberi sarapan yang dicampuri radioaktif, ibu-ibu setengah baya disuntik dengan plutonium radioaktif dan biji kemaluan para tahanan disuntik radiasi – semua atas nama sains, kemajuan dan keamanan. Eksperimen-eksperimen ini diadakan sejak tahun 1940-an sampai 1970-an (Brown, 1994).

Selama tahun 1950-an, 60-an dan 70-an, menurut New York Times, wajib bagi seluruh mahasiswa baru, laki-laki dan perempuan, di Harvard, Yale dan universitas-universitas elit lain di Amerika, difoto telanjang untuk sebuah proyek besar yang didisain dalam rangka untuk menunjukkan bahwa ‘tubuh seseorang’ yang diukur dan dianalisa, dapat bercerita banyak tentang intelegensia, watak, nilai moral dan kemungkinan pencapaiannya di masa depan. Ide ini berasal dari pendiri Darwinisime Sosial, Francis Galton, yang mengajukan foto-foto arsip tersebut untuk dewan kependudukan Inggris. Sejak awal tujuan dari pemotretan-pemotretan ini adalah egenetika. Data-data yang terakumulasi akan dipakai sebagai proposal untuk ‘mengontrol dan membatasi produksi organisme dari orang-orang yang inferior dan tidak berguna’. Beberapa organisme tipe terakhir ini akan dikenakan sangsi bila melakukan reproduksi … atau akan disteril (Rosenbaum, 1995).

Sementara itu media televisi, sebagai hasil pencapaian teknologi modern yang paling luas jangkauannya memiliki dampak sosio-psikologis sangat kuat pada pemirsanya. Beberapa hasil studi berhasil menguak hubungan antara menonton televisi dengan sikap agresif (Huismon & Eron, 1986; Wiegman, Kuttschreuter & Baarda, 1992), dengan sikap anti social (Hagell & Newburn, 1996), dengan sikap aktifitas santai (Selnon & Reynolds, 1984), dengan kecenderungan gaya hidup (Henry & Patrick, 1977), dengan sikap rasial (Zeckerman, Singer &Singer, 1980), kecenderungan atas preferensi seksual (Silverman – Watkins & Sprafkin, 1983), kesadaran akan daya tarik seksual (Tan, 1979), stereotype peran seksual (Durkin, 1985), dengan bunuh diri (Gould & Shaffer, 1986), identifikasi diri dengan karakter-karakter di televisi (Shaheen, 1983).

Hasil-hasil studi yang lain tentang dampak-dampak televisi menunjukkan indikasi yang cenderung ‘agak menggembirakan’. Seperti adanya kesadaran akan segala peristiwa yang terjadi di seluruh dunia (Cairn, 1990), kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara (Conway, Steven & Smith, 1975), bertambhanya pengetahuan akan geografi (Earl & Pasternack, 1991), meningkatnya pengetahuan tentang masalah politik (Furnham & Gunter, 1983), bersikap pro social (Gunter, 1984).

Tetapi perlu dicatat bahwa sejak munculnyaera televisi dibarengi dengan timbulnya berpuluh-puluh channel dengan menawarkan berbagai acara-acara yang menarik dan bervariasi, umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah (baca, non-Muslim) yang memegang kendali semua teknologi modern tak terkecuali televisi. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap Muslim, orang tua dan para pendidik, dalam upaya mengantisipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang adiakibatkan oleh media televisi, internet dan media-media audio visual lainnya?

Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita baik media cetak, maupun media elektronik. Seperti dimaklumi pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat (Young, 1077), dengan demikian setiap Muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan oleh Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering terjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak, tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.

Dalam tulisan berikut konsep pendidikan Islam yang ditawarkan meliputi dua tahap, jangka pendek dan jangka panjang. Yang pertama melibatkan pertisipasi setiap individu Muslim, sedang yang kedua mencakup keterlibatan institusi, lembaga dan bahkan negara.

Diversifikasi Konsep Pendidikan Islam

Ahmed (1990) mendefinisikan pendidikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif dan berhasil.”
Khan (1986) mendefinisikan maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:

a. Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
c. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
d. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.

Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977:
“Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan ‘manusia yang baik dan bertakwa ‘yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.”
Oleh karena itu jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam yang pada gilirannya mengarah pada lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah, pesantren atau UIN (dulu IAIN).1 Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam di sini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Kata-kata senada dan lebih komprehensif diungkapkan oleh Al-Faruqi (1987) pendiri International Institute of Islamic Thought, Amerika Serikat, dalam upayanya mengislamkan ilmu pengetahuan. Sengaja saya kutip menurut teks aslinya untuk tidak mengurangi semangan universalitas Islam yang terkandung di dalamnya:

“Islamization does not mean subordination of any body of knowledge to dogmatic principles or arbitrary objectives, but liberation f rom such shackles. Islam regards all knowledge as critical; i.e., as universal, necessary and rational. It wants to see every claims pass through the tests of internal coherence correspondence with reality, and enhancement of human life and morality. Consequently, the Islamized discipline which we hope to reach in the future will turn a new page in the history of the human spirit, and bring it clear to the truth.”

Di sini perlu ditekankan bahwa konsep pendidikan dalam Islam adalah ‘long life education’ atau dalam bahasa Hadits Nabi “sejak dari pangkuan ibu sampai ke liang lahat” (from the cradle to the grave). Itu berarti pada tahap-tahap awal, khususnya sebelum memasuki bangku sekolah, perang orang tua terutama ibu amatlah krusial dan menentukan mengingat pada usia balita inilah pendidik, dalam hal ini orang tua, memegang peran penting di dalam menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak. Sayangnya orang tua bukanlah satu-satunya pendidik di rumah, ada pendidik lain yang kadang-kadang peranannya justru lebih dominan dari orang tua yang di Barat disebut dengan idiot box atau televisi. Dampak lebih jauh televisi terhadap perkembangan anak balita seperti yang dikatakan Hiesberger (1981) bisa mengarah pada “a dominant voice in our lives dan a major agent of socialization in the lives of our children” (menjadi suara dominan dalam kehidupan kita dan agen utama proses sosialisasi dalam kehidupan anak-anak kita).

Tentu saja peran orang tua tidak berhenti sampai di sini, keterlibatan orang tua juga diperlukan pada fase-fase berikutnya ketika anak mulai memasuki usia sekolah, baik SD, SMP, maupun SMU. Menjelang mas pubertas yakni pada usia antara dua belas sampai delapan belas tahun anak menjalani episode yang sangat kritis di mana sukses atau gagalnya karir masa depan anak sangat tergantung pada periode ini. Robert Havinghurst, pakar psikolog Amerika, menyebutkan periode ini sebagai “developmental task” atau proses perkembangn anak menuju usia dewasa.

Apabila kita kaitkan periode developmental task ini pada aspek budaya kehidupan anak-anak Muslim, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara non-Muslim atau di negara Islam tapi di kota-kota besar, dapat dibayangkan situasi yang mereka hadapi. Mereka tidak pernah atau jarang melihat sikap positif terhadap Islam, baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat. Dalam situasi seperti ini tentu merupakan tanggung jawab orang tua untuk menanamkan nilai0nilai moral, barbagi pengalaman kehidupan Islami yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada internalisasi misi Al-Qur’an dan Sunnah. Peran orang tua seperti ini akan sangat membantu anak dalam memasuki kehidupan yang fungsional sebagai Muslim yang dewasa dan sebagai anggota yang aktif dalam komunitas Islam. Apabila anak menampakkan tanda-tanda sikap yang negatif terhadap Islam yang disebabkan oleh pengaruh dari sekolah atau masyarakat atau karena kecerobohan dan kelengahan orang tua, maka hal ini akan mengakibatkan penolakan anak terhadap hidup Islami dan akan gagal berintegrasi dengan komunitas Islam.

Oleh karena itu adalah tugas orang tua, khususnya dan utamnya, untuk mengatur strategi yangtepat dalam rangka membantu proses pembentukan pribadi anak khususnya dalam periode developmental task tersebut.. Dalam hal ini orang tua haruslah memiliki wawasan pengetahuan yang luas serta dasar pengetahuan agama yang mencukupi untuk menghindari kesalahan strategi dalam mendidik anak. Kedua, mengalokasikan waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi anak berinteraksi serta meresapi sikap-sikap Islami yang ditunjukkan oleh orang tua dalam perilaku kesehariannya. Persoalannya adalah secara factual tidak semua orang dapat memenuhi criteria-kriteria di atas yang disebabkan oleh hal-hal sebagai beriktu: (a) Orang tua, terutama ibu, tidak memiliki wawasan pengetahuan yang mempuni, khususnya di bidang pegagodi anak dan nilai-nilai dasar Islami. Dalam situasi semacam ini orang tua perlu mengambil langkah-langkah beriktu sebagai upaya mengantra anak menuju pintu gerbang masa depan yang cerah, sehat dan agamis.

Pertama, mendatangkan guru privat agama pada waktu usia anak di abwah dua belas tahun untuk mengajarkan nilai-nilai dasa Islam, termasuk cara membaca Al-Qur’an dan Hadits. Pada usia tiga belas tahun sampai dengan delapan belas tahun kandungan makna Al-Qur’an dan Hadits mulai diajarkan dengan metode yang praktis, sistematis dan komprehensif, mengingat pada periode ini anak sudah mulai disibukkan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Dengan demikian diharapkan ketika memasuki bangku kuliah anak sudah memiliki gambaran yang utuh dan komprehensif tentang Islam, beserta nilai-nilai abadi yang terkandung di dalamnya. Sehingga ia tidak akan mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan dan pengaruh-pengaruh luar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, minimal ia akan tahu ke mana jalan untuk kembali ketika, oleh pengaruh eksternal yang terlalu kuat, ia melakukan penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai Islam.

Kedua, menyekolahkan anak sejak dari SMP sampai SMU di lembaga-lembaga Islam semacam pesantren modern yang saat ini sudah banyak memiliki sekolah-sekolah umum yang berkualitas. Ketiga, memasukkan anak sejak TK sampai SMU di lembaga-lembaga pendidikan yang memakai lebel Islam, seperti yayasan Muhammadiyah, yayasan NU, yayasan al-Azahar dan lain-lain. Akan tetapi alternatif ketiga ini dalam pengamatan penulis tidak begitu efektif. Salah satu sebabnya adalah karena kurang komprehensifnya kurikulum keislaman di dalamnya. Kendatipun begitu, ini jauh lebih baik disbanding, misalnya, memasukkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim. Memang menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah non-Muslim tidak berarti anak tersebut akan terkonversi ke agama lain, tetapi dampak minimal yang tak terhindarkan adalah timbulnya sikap skeptis dan apatis anak terhadap Islam.

Alhasil, semakin kuat nilai-nilai agama tertanam akan semakin kokoh resistansi anak terhadap pengaruh-pengaruh negatef dari luar. Studi kasus yang diadakan oleh Francis (1997) terhadap 20.968 anak remaja dari seratus sekolah yang tersebar diInggris dan Wales, menguatkan pendapat ini.
Reformasi Paradigma Pendidikan

Secara faktual hampir seluruh negara-negara Islam2 baru terlepas dari belenggu penjajahan Barat di akhir abad dua puluh tepatnya sekitar 1950-an. Pada umumnya terjadinya pemindahan kekuasaan dari penjajah ke tangan pribumi menimbulkan terjadinya perubahan politik di negara-negara tersebut yang sebagai akibatnya tertundanya reformasi pendidikan yang dicita-citakan sebelumnya. Rezim kekuasaan yang baru pasca kolonialisme tidak mampu memfokuskan diri pada tugas ini. Fokus utama mereka adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan di tengah-tengah terjadinya kekacauan politik. Oleh karena itu pegnembangan dan reformasi pendidikan menjadi terabaikan untuk beberapa waktu. Pendidikan hanya menjadi bagian dari retorika politik dan rencana-rencana pengembangan pendidikan terartikulasi tanpa adanya pencapaian yang berarti. Dewasa inipun anggaran negara yang dicangkan untuk program pendidikan di negara-negara Islam relatif sangat rendah sehingga infrastruktur pendidikan yang mutlak diperlukan tidak atau jarang tersedia. Sebagai contoh Malaysia, negara Islam yang relatif maju program pendidikannya ini, menurut UNESCO (1996) hanya mengalokasikan dana U$D 82 perkapita, sementara Indonesia sendiri cuma mengalokasikan U$D 6 perkapita.

Hal ini menimbulkan dampak-dampak yang tidak efektif, seperti pelajar yang hendak memperdalam ilmunya terpaksa harus pergi ke luar negeri yang biayanya relatif lebih mahal apalagi kalau tujuan belajarnya di negara-negara maju. Sementara kecenderungan belajar ke luar negeri ini menimbulkan persoalan tersendiri khususnya bagi mereka yang secara ekonomis kurang mampu.

Dari ribuan mahasiswa yang belajar di luar negeri – kecuali yang belajar di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Australia yang umumnya berlatar belakang ekonomi menengah ke atas – yang tersebar di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dan Timur Tengah (Mesir, Jordan, Syria, Sudan, dan lain-lain) mayoritas adalah berlatar belakang ekonomi lemah (kaum santri pedesaan) yang untuk biaya studi dan menunjang kehidupan sehari-hari harus banting tulang bekerja part-time yang beraneka ragam mulai dari bekerja sebagai staf local di kedutaan-kedutaan Indonesia setempat,3 mengajar privat, berwiraswasta (seperti yang dilakukan sebagian mahasiswa Mesir dengan membuka warnet atau agen perjalanan), menjaga warnet, sampai bekerja sebagai guide jamaah haji, baik travel ONH Plus maupun jamaah haji biasa yang dikenal dengan istilah pekerja TEMUS (tenaga musim atau seasonal worker).4 Apa yang dihasilkan mereka selama kerja part-time, termasuk guide haji, umumnya sangat pas-pasan dan tidak seimbang dengan terbuangnya waktu dan tenaga yang mereka keluarkan.

Di samping itu, sudah bukan rahasia lagi bahwa di era Orde Baru pelajar mengalami banyak hambatan, khususnya untuk kuliah agama, untuk dapat belajar ke luar negeri apalagi untuk mendapatkan beasiswa. Bandingkan misalnya dengan Malaysia atau India. Para pelajarnya bukan hanya didorong untuk belajar ke luar negeri tetapi juga mendapat tawaran-tawaran beasiswa atau pinjaman-pinjaman jangka panjang yang menarik.5 Di era pasca Orba saat ini praktik-praktik mempersulit pelajar yang akan studi ke luar negeri masih saja terjadi yang dilakukan oleh berbagai pihak birokrasi yang terkait, mulai dari pengurusan paspor, permintaan rekomendasi, dan lain-lain hampir tak dapat dilakukan tanpa adanya uang pelicin di bawah meja.
Adanya amandemen konstitusi yang mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan itu sudah bagus tapi langkah ini tentu saja belum cukup, masih dibutuhkan sejumlah langkah reformasi lain di bidang pendidikan termasuk di antaranya menghilangkan praktik diskriminasi pengalokasian dana antara institusi pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag, perlunya peningkatan apresiasi kalangan birokrat terhadap pelajar dan mahasiswa dengan cara memberikan kemudahan – bukan malah mempersulit – segala proses yang berkaitan dengan prosedur urusan pendidikan. Lembaga-lembaga Islam semacam pesantren perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pemerintah, baik moril maupun finansial, karena lembaga-lembagasemacam inilah yang berperan besar membantu program pemerintahdi dalam melestarikan nilai-nilai dan spirit Islam di satu sisi serta pemberantasan buta huruf di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang notabene menjadi tempat mayoritas rakyat Indonesia.

Di lain pihak lembaga-lembaga Islam tradisional semacam pesantren, khususnya pesantren salaf perlu melepaskan diri dari blue-print lamanya dan memodernisasi system dan metede pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan keilmuan modern yang melajubegitu pesat. Secara histories sejak awal berdirina pada sekitar abad enam belas melewati masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi saa ini, pesatren salaf dikenal dengan sikapnya yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan (Federspiel, 1995) dan pemerintahpun enggan mendekati pesantren kecuali saat-saat menjelang PEMILU. Di “Orde Reformasi” ini sangat urgen adanya sikap kebersamaan antara lembaga-lembaga agama, khususnya lembaga Islam dengan pemerintah melalui pendekatan yang bersifat mutual respect (saling menghargai), mutual understanding (saling memahami) dan mutual need (saling membutuhkan) dengan tujuan yang pasti yaitu untuk semakin mendorong laju pertumbuhan pendidikan demi terciptanya jutaan pakar-pakar Iptek yang ber-imtak. Dalam hal ini sikap arogansi kekuasaan di satu pihak dan rasa inferioritas di pihak lain, mutlak harus dihapuskan.

Sementara itu sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan yang berbeda, para ilmuwan terbagi dalam dua kategori yaitu, (a) ilmuwan agama, yakni ilmuwan yang mengadakan pengkajian khusus berbagai disiplin ilmu agama dan (b) ilmuwan umum, yakni para pakar yang mengambil spesifikasi berbagai disiplin ilmu duniawi kontemporer. Para ilmuwan umum tentunya akan ‘menggarap’ lading yang sesuai dengan bidang-bidang yang menjadi keahlian mereka masing-masing sementara fungsi para ilmuwan agama di sini adalah (a) sebagai meditor antara aspirasi umat dengan para pakar iptek, (b) mengadakan hubungan yang proporsional dengan para pakar komunikasi massa dalam rangka memanfaatkan media massa, khususnya televisi dan internet, sebagai upayaunifikasi dan pengembangan umat dan (c) menyatukan paradigma para pakar iptek Muslim bahwa apa yang akan, sedang dan telah diperbuat selalu mengandung dua dimensi yaitu pengabdian kepada Allah (ibadah) dan untuk kebaikan serta rahmat seluruh umat manusia (Nawwab, 1979). Yang pada gilirannya nanti akan mengarah pada Islamisasi iptek sebagaimana yang dicita-citakan oleh Al-Faruqi di atas.

Penutup

Gambaran solusi Islami terhadap tantangan-tantangan pendidikan di era globalisasi di atas, bagaimanapun, merupakan disain besar, yang oleh sebagian kalangn mungkin dianggap terlalu romantis. Kendatipun bukan berarti mustahil dilakukan dengan melihat beberapa fenomena paling mutakhir di berbagai dunia Islam, khususnya Indonesia meliputi (a) semakin menipisnya dikotomi antara – meminjam istilah Clifford Geertz – Islam Santri dan Islam Abangan, (b) semakin banyaknya pakar iptek yang berlatar belakang santri, (c) semakin tipisnya friksi yang trjadi antara berbagai organisasi Islam yang disebabkan oleh semakin tajamnya visi Islam mereka dalam awal milenium ini dan (d) terjadinya perubahan dahsyat dalam konstalasi politik di Indonesia dari ‘demokrasi artifisial, menuju demokrasi yang relatif dapat diharapkan.

Untuk itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu: individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama, institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan gubernur Lemhanan (Republika, 23/09/1994).

Kandidat Doktor Islamic Studies, di Jamia Millia University, New Delhi, India dan alumni Sidogiri

1 Institusi-institusi semacam ini disebut lembaga pendidikan Islam dalam arti bahwa ia merupakantempat kajian ilmu-ilmu agama Islam. Asfar (1996) membagi ilmu pada dua kategori. Pertama, ilmu agama yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama secara langsung seperti ilmu Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu Hadits, ilmu Tafsir dan sebagainya. Kedua, ilmu duniawi yang berarti segala disiplin ilmu umum meliputi sains, teknologi dan lainlain. Selanjutnya lembaga pendidikan Islam semacam pesantren dan lain-lain akan disebut lembaga Islam.
2 Yang dimaksud negara Islam di sini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jadi tidak hanya berkonotasi pada negara-negara yang secara konstitusi berideologikan Islam. Istilah ini dipakai hampir oleh seluruh penulis Muslim ataupun no-Muslim (orientalis) yang membahas tentang Islam. Lihat, misalnya Khusro (1981).
3 Kedutaan yang mempekerjakan mahasiswa Indonesia umumnya KBRI di Timur Tengah (Mesir, Syria, Tunisia, dll), sedangkan untuk KBRI India tampak lebih menyukai staf local yang langsung diambil dari Indonesia yang relatif kurang pengalaman, padahal banyak mahasiswa India yang berminat. Belum jelas apa sebab di balik penolakan KBRI India ini.
4 Dulu mahasiswa Asia Selatan dan Timur Tengah cukup mengandalkan biaya hidup dan kuliah mereka dari bekerja jadi guide haji setiap tahun, umumnya jadi guide di ONH Plus. Sekarang dengan turunnya peraturan pemerintah Saudi yang hanya membolehkan haji setiap lima tahun sekali, maka rejeki dari sector ini jadi tidak bisa diharapkan lagi, dan cuma mengharapkan bekerja sebagai guide haji biasa atau TEMUS yang tidak bisa dilakukan setiap tahun karena adanya keterbatasan quota dari Departemen Agama untuk setiap negara sehingga mahasiswa harus rela bergiliran.
5 Di Malaysia dan India prosedur untuk mendapatkan beasiswa dilakukan dan diumumkan dengan sangat transparan yang memungkinkan siapa saja yang berkualitas akan mendapatkannya tanpa kekuatiran akan di’kudeta’ oleh pihak-pihak tertentu.

Bibliografi

Ahmed, Manzoor (1990), Islamic Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1

Asfar, Muhamad (1996), “Ulama dan Politik: Perspektif Masa Depan”, Ulumul Quran, 5(VI), hlm. 4-18.Brown, Chip, “The Science Club Serves its Country” dalam Esquire, December 1994.

Cairns, E. (1990), “Impact of Television News Exposure on Children’s Perceptions of Violence in Northern Ireland” Journal of Social Psychology, hlm. 130, 447-452.

Conway, M.M., Stevens, A.J. & Smith, R.G. (1975), “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.

Durkin, K. (1985), Television, Sex-roles and Children, Milton Keynes, Open University Press.

Earl, R.A. & Pastermack, S. (1991), “Television Weather Casts and their Role in Geographic Education”, Journal of Geography, hlm. 90, 113-117.

Faruqi, Isma’il al- (1987), “Foreward” dalam Akbar S. Ahmed Toward Islamic Anhtropology: Definition, Dogma and Directions, Lahore, hlm.7.

Francis, Leslie J. (1997), “The Socio-psychological Profile of the Teenage Television Addict” dalam The Muslim Education Quarterly, 1 (15), hlm 5-19.

Federspiel, Howard M. (1995), “Pesantren” dalam Esposito, J.L. The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, London: Oxford University Press, Vol.3, hlm.325-326.

Gould, M.S. & Shaffer, D. (1986), “The Impact of Suicide in Television Movies”, New England Journal of Medicine, 315, 690-694

Furnham, A. & Gunter, B. (1983), “Political Knowledge and Awareness in Adolescent”, Journal of Adolescence, 6, 373-385.

Gunter, B. (1984), “Television as Facilitator of Good Behaviour among Children”, Journal of Moral Education, 13, 152-159.

Huesman, L.R. & Eron, L.D. (Eds.) (1986), Television and the Aggressive Child: A cross-national comparison, Hillsdale, New Jersey, Erlbaum.

Hegell, A & Newburn, T. (1996), “Comparison of the Viewing Habits and Preferences of Young Offenders and Representative Shool Children”, Pastoral Care, 14, 1, hlm. 31-42.

Hiesberger, J.M. (1981), “The Ultimate Challenge to Religious Education” dalam Religious Education, 76 (4), hlm.355-359.

Hendry, L.B. & Thornton, D.J.E. (1976), “Games Theory, Television and Leisure: an Adolescent Study, dalam British Journal of Social and Clinical Psychology, 15, hlm.369-376.

Khan, Sharif (1986), Islamic Education, New Delhi: Ashish Publishing House, hlm.37-38.

Khan, Sharif (1997), Some Aspects of Islamic Education, Ambala Cantt. (India): Associated Publishers, hlm.61-64.

Khusro, Syed Ali Muhammad (1981), “Education in Islamic Society” dalam Khan, Muhammad Wasiullah, Education and Society in the Muslim World, Jeddah: Hodder & Stoughton – King Abdulaziz University, hlm.82-84.

Rosenbaum, Ron (1995), “Even the Wife of the President of the United States had to Stand Naked”, The Independent, 21 January, cetak ulang dari kisah dalam The New York Times.

Selnow, G.A. & Reynolds, H. (1984), “some Opportunity Costs of Television Viewing”, Journal of Broadcasting, 28, hlm. 315-322.

Silverman-Watkins, L.T. & Sprafkin, J.N. (1983), “Adolescent’ Comprehension of televised Sexual Innuendos”, dalam Journal of Applied Developmental Psychology, 4, hlm.359-369.

Sheehan, P.W. (1983),”Age Trends and Correlats of Children’s Television Viewing”, dalam Australian Journal of Psychology, 35, hlm. 417-431.

Tidhar, C.E. & Peri, S. (1990), “Deceitful behaviour in Situation Comedy: Effects on Children’s Perceptions of Social Reality”, dalam Journal of Educational television, 16, hlm. 61-67.

Tan, A.S. (1979), “Television Beauty Ads and Role Expectations of Adolescent Female Viewers”, dalam Journalism Quarterly, 56, hlm. 283-288.

Telfer, R.J. & Kann, R.S. (1984), “Reading Achievement, Free reading, Watching TV, and Listening to Music”, Journal of Reading, 27, hlm.536-539.

UNESCO (1996), dalam Jawed, Muhammad, (Ed.) Year Book of the Muslim World: A Handy Encyclopaedia, New Delhi: Medialine, hlm. 53-54.

Wiegman, O., Kuttschreuter, M. & Baarda, B. (1992), “A Longitudinal Study of the Effects of Television Viewing on Aggressive and Prosocial Behaviors”, dalam A British Journal of Socail Psychology, 31, hlm. 147-164.

Young, Robert (1997), “Science is Social Relations”, dalam Radical Science Journal, 5, hlm. 65-131.

Zuckerman, D.M., Singer, D.G. & Singer J.L. (1980), “Children’s Television Viewing, Racial and Sex-role Attitude”, dalam Journal of applied Social Psychology”, 10, hlm.281-294.

Tantangan Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Jumat, 25 Juni 2010

Peranan Guru Dalam Meningkatkan Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Kebutuhan masyarakat dan sumber-sumber yang tersedia di dalamnya serta ekspektasi dan tuntutan publik serta pihak otoritas terhadap sekolah dan peran guru akan mempengaruhi perkembangan pendidikan guru, apakah harus memberi penekanan pada pelatihan untuk kejuruan atau profesi. Jika terdapat kekurangan guru, mungkin akan lebih bermanfaat jika melatih lebih banyak guru untuk menguasai keterampilan-keterampilan tertentu yang dapat dipelajari dalam waktu yang lebih singkat daripada mendidik guru sebagai profesional menurut kriteria yang dikemukakan oleh Dale. Suatu masyarakat tertentu mungkin akan berkeberatan untuk mendidik guru yang kritis dan reflektif.
Sanjungan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa agaknya menjadikan guru lebih bangga terhadap profesi mulia tersebut. Apalagi, batas sanjungan tersebut sangatlah tipis. Artinya, orang tidak akan membedakan sanjungan tersebut terhadap guru yang peduli terhadap pendidikan dan yang kurang peduli.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja yang menjadi tugas guru dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan?
2. Sejauh mana peranan seorang guru dalam usaha peningkatan mutu pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN


PERANAN GURU DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN


A. Tugas Guru
Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.
Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.
Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.
Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.
Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.
Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.
Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas profesional.
Selanjutnya, pembinaan prajabatan melalui pendidikan guru ini harus mampu mendidik mahasiswa calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk menjadi manusia, person (pribadi) dan tidak hanya menjadi teachers (pengajar) atau (pendidik) educator, dan orang ini kita didik untuk menjadi manusia dalam artian menjadi makhluk yang berbudaya. Sebab kebudayaanlah yang membedakan makhluk manusia dengan makhluk hewan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hewan berbudaya, tetapi kita dapat mengatakan bahwa makhluk manusia adalah berbudaya, artinya di sini jelas kalau yang pertama yaitu training menyiapkan orang itu menjadi guru, membuatnya menjadi terpelajar, aspek yang kedua mendidiknya menjadi manusia yang berbudaya, sebab sesudah terpelajar tidak dengan sendininya orang menjadi berbudaya, sebab seorang yang dididik dengan baik tidak dengan sendininya menjadi manusia yang berbudaya.
Memang lebih mudah membuat manusia itu berbudaya kalau ia terdidik atau terpelajar, akan tetapi orang yang terdidik dan terpelajar tidak dengan sendirinya berbudaya. Maka mengingat pendidikan ini sebagai pembinaan pra jabatan yaitu di satu pihak mempersiapkan mereka untuk menjadi guru dan di lain pihak membuat mereka menjadi manusia dalam artian manusia berbudaya, kiranya perlu dikemukakan mengapa guru itu harus menjadi rnanusia berbudaya. Oleh kanena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan; jadi pendidikan dapat berfungsi melaksanakan hakikat sebagai bagian dari kebudayaan kalau yang melaksanakannya juga berbudaya. Untuk menyiapkan guru yang juga manusia berbudaya ini tergantung 3 elemen pokok yaitu :
Orang yang disiapkan menjadi guru ini melalui prajabatan (initial training) harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik. Ini bukan berarti bahwa seseorang yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik dapat menjadi guru yang baik, oleh karena biar bagaimanapun mengajar adalah seni. Tetapi sebaliknya biar bagaimanapun mahirnya orang menguasai seni mengajar (art of teaching), selama ia tidak punya sesuatu yang akan diajarkannya tentu ia tidak akan pantas dianggap menjadi guru.
Guru tidak hanya harus menguasai satu atau beberapa disiplin keilmuan yang harus dapat diajarkannya, ia harus juga mendapat pendidikan kebudayaan yang mendasar untuk aspek manusiawinya. Jadi di samping membiasakan mereka untuk mampu menguasai pengetahuan yang dalam, juga membantu mereka untuk dapat menguasai satu dasar kebudayaan yang kuat. Jadi bagi guru-guru juga perlu diberikan dasar pendidikan umum.
Pendidikan terhadap guru atau tenaga kependidikan dalam dirinya seharusnya merupakan satu pengantar intelektual dan praktis kearah karir pendidikan yang dalam dirinya (secara ideal kita harus mampu melaksanakannya) meliputi pemagangan. Mengapa perlu pemagangan, karena mengajar seperti juga pekerjaan dokter adalah seni. Sehingga ada istilah yang populer di dalam masyarakat tentang dokter yang bertangan dingin dan dokter yang bertangan panas, padahal ilmu yang diberikan sama. Oleh karena mengajar dan pekerjaan dokter merupakan art (kiat), maka diperlukan pemagangan. Karena art tidak dapat diajarkan adalah teknik mengajar, teknik untuk kedokteran. Segala sesuatu yang kita anggap kiat, begitu dapat diajarkan diakalau menjadi teknik. Akan tetapi kalau kiat ini tidak dapat diajarkan bukan berarti tidak dapat dipelajari. Untuk ini orang harus aktif mempelajarinya dan mempelajari kiat ini harus melalui pemagangan dengan jalan memperhatikan orang itu berhasil dan mengapa orang lain tidak berhasil, mengapa yang satu lebih berhasil, mengapa yang lain kurang berhasil.

B. Peran Guru
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Orang yang disiapkan menjadi guru melalui prajabatan harus mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu yang akan diajarkannya di sekolah melalui jalur pendidikan, paling tidak pendidikan formal. Karena untuk dapat menjadi seorang guru yang baik bukanlah suatu hal yang mudah. Seorang guru tidak hanya berperan sebagai tenaga pengajar yang hanya menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada orang yang diajarkannya, akan tetapi seorang guru juga harus mampu menjadi seorang pendidik, yang dapat membina serta membimbing pribadi anak didik dalam upaya peningkata mutu pendidikan menuju kearah yang lebih baik . Tidak mungkin seseorang dapat dianggap sebagai guru atau tenaga kependidikan yang baik di satu bidang pengetahuan kalau dia tidak menguasai pengetahuan itu dengan baik.
Ada beberapa tugas yang mesti dan harus diemban oleh seorang guru tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. Selain itu guru juga harus memiliki peran dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, diantaranya:
1) Pendidik (nurturer),
2) Model,
3) Pengajar dan pembimbing,
4) Pelajar (learner),
5) Komunikator terhadap masyarakat setempat,
6) Pekerja administrasi, serta
7) Kesetiaan terhadap lembaga.

DAFTAR FUSTAKA



E. Mulyasa. 2002. “Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya


Didi, Sukiyudi,dkk. 2006. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : UPI Press


Ansyar, Mohd & H. Nurtain. 1991. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta


DEPDIKBUD DIKTI Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan


Tim Pengembang MKDK Kurikulum & Pembelajaran. 2002.


Kurikulum Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UPI

http//:Mendidik.tenaga.pendidik.php.htm